MAKALAH
ASPEK HUKUM LEMBAGA PENJAMIN
SIMPANAN (LPS)
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum dalam Bisnis Syari’ah
Dosen
Pengampu: Drs. Saekhu, MH.
Disusun
Oleh:
Rizqi
Aulia (122503098)
Irma
Nurmazizah (132503136)
Irma
Fitriani (132503137)
Ulfa Rizky Uswatun
Khasanah (132503149)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak
kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia mengalami krisis ekonomi dan
menelan biaya yang amat besar, khususnya di sektor perbankan. Krisis perbankan
di Indonesia menurut pandangan analisis ekonomi, selain disebabkan oleh
rentannya sistem perbankan di Indonesia, yang ditandai kurang kuatnya
permodalan, manajemen yang kurang menerapkan good governance, serta tidak kukuhnya kelembagaan, lemahnya
pengaturan dan pengawasan di tengah-tengah pesatnya peningkatan pertumbuhan
perekonomian.
Rasa
keingintahuan kami yang mendorong untuk mengkaji lebih dalam tentang LPS ini dan
sebagai mahasiswa ekonomi yang dituntut kritis terutama di bidang pengkajian
yang dipelajari ini. Maka makalah ini akan secara khusus membahas tentang
Lembaga Penjamin Simpanan sesuai
yang dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Yang diharapkan lembaga ini dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk
mengetahui lebih dalam tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dapat kita
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah berdirinya LPS dan apa pengertiannya?
2. Apa
yang dasar pengaturan LPS?
3. Apa
fungsi, tugas dan wewenang LPS?
4. Apa
kewajiban dan sanksi Bank sebagai peserta penjaminan LPS?
5. Berapa
nilai simpanan yang dijamin LPS?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan Definisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1. Sejarah
LPS
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang
menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank,
mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk
simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang
terlalu luas menyebabkan timbulnya moral
hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap
menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem
perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu
digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September
2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut,
LPS adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah
penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai
dengan kewenangannya, dibentuk. Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal
22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.[1]
2. Definisi LPS
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin
simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif
12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada
22 September 2005. Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah
Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.[2]
Aspek
hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan suatu kebutuhan sebagai
penunjang sistem pengawasan bank yang efektif dan merupakan lembaga yang
diharapkan dapat menjamin pengembalian dana yang disimpan pada bank. Perlu
dipikirkan terlebih dulu dalam pembentukan LPS adalah tersedianya perangkat
hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum dan ketentuan yang mengatur
tata cara pelaksanaan penjaminan oleh LPS, sanksi dan tata cara pengawasan
terhadap LPS
Bentuk
dan Status Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
a. LPS dibentuk oleh Pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
b. LPS adalah badan hukum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
c. LPS merupakan lembaga yang
independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
d. LPS bertanggung jawab kepada
Presiden.
e. LPS berkedudukan di Jakarta dan
dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah negara Republik Indonesia.[3]
B.
Dasar
Pengaturan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Yang menjadi dasar pengaturan LPS:
n Pasal 37B
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 disebutkan bahwa setiap bank wajib
menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan dan untuk
menjamin simpanan masyarakat tersebut akan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).
n Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang diundangkan pada tanggal 22 September 2004. Sesuai dengan
ketentuan, UU tersebut baru mulai efektif 12 (dua belas) bulan setelah
diundangkan atau pada tanggal 22 September 2005, dengan kata lain LPS akan
mulai beroperasi pada tanggal tersebut dan program penjaminan pemerintah (blanket
guarantee) dengan sendirinya akan berakhir (yakni Keputusan Presiden Nomor
26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan
Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat).
C.
Fungsi,
Tugas dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Fungsi,
tugas, dan wewenang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS ada di Bab III pasal 4-6 sebagai berikut:
1. Fungsi
LPS
Pasal
4, Fungsi LPS adalah:
a. menjamin
simpanan nasabah penyimpan;
Penjelasan pasal 4a:
Penjaminan simpanan nasabah penyimpan meliputi pula peminjaman bentuk yang
setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syari’ah.
Penjelasan pasal 4b: LPS berfungsi
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri
Keuangan, Bank Indonesia, dan LPP, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
2. Tugas
LPS
Pasal
5 ayat 1
Dalam
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a, LPS mempunyai
tugas:
a.
Merumuskan dan menetapkan kebijakan
pelaksanaan penjaminan simpanan.
b.
Melaksanakan penjaminan simpanan.
Pasal 5 ayat 2
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan
dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
b. Merumuskan, menetapkan, dan
melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik.
c. Melaksanakan penanganan Bank Gagal
yang berdampak sistemik.
3. Wewenang
LPS
Dalam
rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1. LPS
mempunyai wewenang sebagai berikut:
a.
Menetapkan dan memungut premi
penjaminan.
b. Menetapkan
dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
c. Melakukan
pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
d. Mendapatkan
data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan
hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
e. Melakukan
rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada huruf d.
f. Menetapkan
syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
g. Menunjuk,
menguasakan, dan/ atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan
dan/ atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
h. Melakukan
penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
D.
Kewajiban dan
Sanksi Bank Sebagai Peserta Penjaminan LPS
Sebagai
peserta penjaminan, sebagaimana yang dimaksud dalam:
pasal 8 ayat 1 UU LPS 2004, berbunyi:
“Setiap Bank yang melakukan kegiatan
usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan”. Jenis
bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank
campuran, dan bank asing, serta bank konvensional dan bank syariah.
Sesuai Pasal 37B Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1999 tentang Perbankan:
“Setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan
masyarakat pada bank tersebut dibentuk LPS.”
Dan
selanjutnya dalam pasal 9 UU No. 24 Tahun 2004 Tentang LPS, setiap Bank wajib:
a. menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) salinan anggaran dasar dan/atau
akta pendirian bank;
2) salinan dokumen perizinan bank;
3) surat keterangan dari LPP
mengenai tingkat kesehatan bank;
4) surat pernyataan dari pemegang
saham, pengendali bagi yang berbadan hukum koperasi, kantor pusat dari cabang
bank asing, direksi dan komisaris.
b. membayar kontribusi kepesertaan;
c. membayar premi penjaminan;
d. menyampaikan laporan secara berkala.
e. memberikan data, informasi dan
dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan penjaminan;
f. menempatkan bukti kepesertaan atau
salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui
dengan mudah oleh masyarakat.[6]
Untuk
sanksi bagi bank disebutkan sesuai dalam pasal 92 UU LPS 2004, yaitu LPS
menjatuhkan sanksi administratif pada bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9c dan 9d di atas.
Sanksi
administratif berupa denda dministratif dan/ atau bunga. Pengenaan sanksi
administratif tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9c, ditetapkan paling tinggi 150% (seratus
lima puluh perseratus) dan jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk setiap
periode termasuk bunga.
b. Terhadap pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 9d, dekenakan denda Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan penyampaian laporan.[7]
E.
Nilai Simpanan yang Dijamin LPS
Sejak
tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum
sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi
hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih
dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi
bank tersebut. Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk
melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan
per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta
mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
Sejak
terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu
No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin
oleh LPS menjadi Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat
disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS paling tinggi sebesar
Rp 2 milyar per nasabah per bank sejak tanggal 13 Oktober 2008. Apabila seorang
nasabah mempunyai beberapa rekening simpanan pada satu bank, maka untuk
menghitung simpanan yang dijamin, saldo seluruh rekening tersebut dijumlahkan. Nilai
simpanan yang dijamin tersebut meliputi pokok ditambah bunga untuk bank
konvensional, atau pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah
untuk bank syariah.[8]
Contoh perhitungan simpanan yang dijamin:
Asep, Badu & Cita masing-masing mempunyai tabungan atas
nama pribadi di Bank ABC dengan saldo masing-masing sebesar Rp 1,20 milyar, Rp 1,40
milyar & Rp 1,80 milyar. Selain itu, Asep, Badu & Cita juga mempunyai
rekening gabungan (joint account) dalam bentuk giro di Bank ABC dengan saldo
sebesar Rp 3 milyar.
Asep juga memiliki 1 rekening tabungan untuk kepentingan
anaknya yang masih kecil bernama Dona (beneficiary)
dengan saldo sebesar Rp 80 juta.
Apabila Bank ABC dicabut ijin usahanya dan jumlah yang
dijamin adalah Rp2 milyar, maka perhitungan nilai simpanan yang dijamin untuk
masing-masing nasabah tersebut adalah sebagai berikut:
LPS akan membayar klaim penjaminan atas simpanan yang
dijamin sebesar:
a. Rp 2 milyar kepada Asep;
b. Rp 2 milyar kepada Badu;
c. Rp 2 milyar kepada Cita; dan
d. Rp 80 juta kepada Asep untuk kepentingan Dona.
Untuk nasabah penyimpan yang sebagian saldo rekeningnya
tidak dibayarkan oleh LPS karena saldo simpanannya telah melebihi jumlah
maksimum simpanan yang dijamin, LPS akan menerbitkan Surat Keterangan mengenai
saldo rekening yang tidak dibayarkan tersebut, yaitu:
a. Asep, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 200 juta
b. Badu, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 400 juta
c. Cita, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 800 juta
Penyelesaian atas saldo rekening yang tidak dibayar
tersebut, dilakukan dengan mekanisme likuidasi akan diselesaikan melalui proses
likuidasi Bank ABC.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
LPS
merupakan penyempurnaan dari program penjaminan pemerintah terhadap seluruh
kewajiban bank (blanket guarantee)
yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 s/d 2005). Kebijakan blanket guarantee di satu sisi dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, namun di sisi lain kebijakan tersebut telah
membebani keuangan negara dan dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku
perbankan dan nasabah.
Dengan
mempertimbangkan dampak negatif tersebut serta memperhatikan membaiknya kondisi
perbankan, kebijakan blanket guarantee
telah diputuskan untuk diakhiri (pada tahun 2005). Penerapan penjaminan secara
luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan
kekuatan hukum, sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan.
Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk
undang-undang. Yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 ditetapkan penjaminan
simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan resiko yang membebani
anggaran negara. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut diselenggarakan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mengingat
fungsinya yang sangat penting, LPS harus independen, transparan dan akuntabel
dalm menjalankan tugas dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan
kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi
lain, seluruhnya diatur secara jelas dalam undang-undang.
B.
Saran
Apabila
bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tersebut tidak dapat dijalankan,
akibatnya izin usahanya dicabut. Maka hal ini dinamakan Bank Gagal. Oleh karena
itu, baik pemilik, pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam
pengaturan dan/ atau pengawasan bank, seharusnya selalu bekerja sama mewujudkan
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Dan
tatanan kelembagaan yang memperlancar koordinasi perlu diatur sedemikian rupa
sehingga pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan atau langkah-lankah
penyelesaian krisis dapat berjalan lancar. Oleh karena itu. kalau dilihat dalam
bab pembahasan mungkin sedikit saran yang bisa dimasukkan bahwa suatu
kelembagaan dikatakan kuat apabila memiliki atau didukung adanya dasar hukum
pendirian, dasar hukum kewenangan, adanya hierarki dan mekanisme kerja serta
peraturan pendukung, yang memudahkan institusi terkait untuk melakukan eksekusi
kebijakan sesuai kewenangan yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Penjamin_Simpanan/13-03-2014
Indonesia (2005). Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan 2004. Jakarta: Sinar
Grafika.
Indonesia (1999). Undang-Undang Perbankan UU No. 10 Tahun 1998. Jakarta: Sinar
Grafika.