Senin, 18 April 2016

Makalah-Lembaga Penjamin Simpanan

MAKALAH
ASPEK HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum dalam Bisnis Syari’ah
Dosen Pengampu: Drs. Saekhu, MH.


Disusun Oleh:
Rizqi Aulia                                          (122503098)
Irma Nurmazizah                                (132503136)
Irma Fitriani                                        (132503137)
Ulfa Rizky Uswatun Khasanah          (132503149)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia mengalami krisis ekonomi dan menelan biaya yang amat besar, khususnya di sektor perbankan. Krisis perbankan di Indonesia menurut pandangan analisis ekonomi, selain disebabkan oleh rentannya sistem perbankan di Indonesia, yang ditandai kurang kuatnya permodalan, manajemen yang kurang menerapkan good governance, serta tidak kukuhnya kelembagaan, lemahnya pengaturan dan pengawasan di tengah-tengah pesatnya peningkatan pertumbuhan perekonomian.
Rasa keingintahuan kami yang mendorong untuk mengkaji lebih dalam tentang LPS ini dan sebagai mahasiswa ekonomi yang dituntut kritis terutama di bidang pengkajian yang dipelajari ini. Maka makalah ini akan secara khusus membahas tentang Lembaga Penjamin Simpanan sesuai yang dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Yang diharapkan lembaga ini dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih dalam tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dapat kita rumuskan  sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah berdirinya LPS dan apa pengertiannya?
2.      Apa yang dasar pengaturan LPS?
3.      Apa fungsi, tugas dan wewenang LPS?
4.      Apa kewajiban dan sanksi Bank sebagai peserta penjaminan LPS?
5.      Berapa nilai simpanan yang dijamin LPS?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Definisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1.      Sejarah LPS
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk. Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.[1]
2.      Definisi  LPS
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.[2]
Aspek hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan suatu kebutuhan sebagai penunjang sistem pengawasan bank yang efektif dan merupakan lembaga yang diharapkan dapat menjamin pengembalian dana yang disimpan pada bank. Perlu dipikirkan terlebih dulu dalam pembentukan LPS adalah tersedianya perangkat hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum dan ketentuan yang mengatur tata cara pelaksanaan penjaminan oleh LPS, sanksi dan tata cara pengawasan terhadap LPS
Bentuk dan Status Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
a.       LPS dibentuk oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
b.      LPS adalah badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
c.       LPS merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
d.      LPS bertanggung jawab kepada Presiden.
e.       LPS berkedudukan di Jakarta dan dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah negara Republik Indonesia.[3]
B.     Dasar Pengaturan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Yang menjadi dasar pengaturan LPS:
n  Pasal 37B Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 disebutkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan dan untuk menjamin simpanan masyarakat tersebut akan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
n  Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang diundangkan pada tanggal 22 September 2004. Sesuai dengan ketentuan, UU tersebut baru mulai efektif 12 (dua belas) bulan setelah diundangkan atau pada tanggal 22 September 2005, dengan kata lain LPS akan mulai beroperasi pada tanggal tersebut dan program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) dengan sendirinya akan berakhir (yakni Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat).

C.    Fungsi, Tugas dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS ada di  Bab III pasal 4-6 sebagai berikut:
1.      Fungsi LPS
Pasal 4, Fungsi LPS adalah:
a.       menjamin simpanan nasabah penyimpan;
Penjelasan pasal 4a: Penjaminan simpanan nasabah penyimpan meliputi pula peminjaman bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syari’ah.
b.      turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya;[4]
Penjelasan pasal 4b: LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan LPP, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
2.      Tugas LPS
Pasal 5 ayat 1
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a, LPS mempunyai tugas:
a.       Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
b.      Melaksanakan penjaminan simpanan.
Pasal 5 ayat 2
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
b.      Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik.
c.       Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
3.      Wewenang LPS
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1. LPS mempunyai wewenang sebagai berikut:
a.       Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
b.      Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
c.       Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
d.      Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
e.       Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada huruf d.
f.       Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
g.      Menunjuk, menguasakan, dan/ atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/ atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
h.      Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
i.        Menjatuhkan sanksi administratif.[5]
D.    Kewajiban dan Sanksi Bank Sebagai Peserta Penjaminan LPS
Sebagai peserta penjaminan, sebagaimana yang dimaksud dalam:
pasal 8 ayat 1 UU LPS 2004, berbunyi:
“Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan”. Jenis bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran, dan bank asing, serta bank konvensional dan bank syariah.
Sesuai Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan:
“Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank tersebut dibentuk LPS.”
Dan selanjutnya dalam pasal 9 UU No. 24 Tahun 2004 Tentang LPS, setiap Bank wajib:
a.       menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
2) salinan dokumen perizinan bank;
3) surat keterangan dari LPP mengenai tingkat kesehatan bank;
4) surat pernyataan dari pemegang saham, pengendali bagi yang berbadan hukum koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing, direksi dan komisaris.
b.      membayar kontribusi kepesertaan;
c.       membayar premi penjaminan;
d.      menyampaikan laporan secara berkala.
e.       memberikan data, informasi dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan penjaminan;
f.       menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat.[6]
Untuk sanksi bagi bank disebutkan sesuai dalam pasal 92 UU LPS 2004, yaitu LPS menjatuhkan sanksi administratif pada bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9c dan 9d di atas.
Sanksi administratif berupa denda dministratif dan/ atau bunga. Pengenaan sanksi administratif tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.       terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9c, ditetapkan paling tinggi 150% (seratus lima puluh perseratus) dan jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk setiap periode termasuk bunga.
b.      Terhadap pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 9d, dekenakan denda Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan penyampaian laporan.[7]

E.     Nilai Simpanan yang Dijamin LPS
Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut. Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS paling tinggi sebesar Rp 2 milyar per nasabah per bank sejak tanggal 13 Oktober 2008. Apabila seorang nasabah mempunyai beberapa rekening simpanan pada satu bank, maka untuk menghitung simpanan yang dijamin, saldo seluruh rekening tersebut dijumlahkan. Nilai simpanan yang dijamin tersebut meliputi pokok ditambah bunga untuk bank konvensional, atau pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah untuk bank syariah.[8]
Contoh perhitungan simpanan yang dijamin:
Asep, Badu & Cita masing-masing mempunyai tabungan atas nama pribadi di Bank ABC dengan saldo masing-masing sebesar Rp 1,20 milyar, Rp 1,40 milyar & Rp 1,80 milyar. Selain itu, Asep, Badu & Cita juga mempunyai rekening gabungan (joint account) dalam bentuk giro di Bank ABC dengan saldo sebesar Rp 3 milyar.
Asep juga memiliki 1 rekening tabungan untuk kepentingan anaknya yang masih kecil bernama Dona (beneficiary) dengan saldo sebesar Rp 80 juta.
Apabila Bank ABC dicabut ijin usahanya dan jumlah yang dijamin adalah Rp2 milyar, maka perhitungan nilai simpanan yang dijamin untuk masing-masing nasabah tersebut adalah sebagai berikut:
LPS akan membayar klaim penjaminan atas simpanan yang dijamin sebesar:
a. Rp 2 milyar kepada Asep;
b. Rp 2 milyar kepada Badu;
c. Rp 2 milyar kepada Cita; dan
d. Rp 80 juta kepada Asep untuk kepentingan Dona.
Untuk nasabah penyimpan yang sebagian saldo rekeningnya tidak dibayarkan oleh LPS karena saldo simpanannya telah melebihi jumlah maksimum simpanan yang dijamin, LPS akan menerbitkan Surat Keterangan mengenai saldo rekening yang tidak dibayarkan tersebut, yaitu:
a. Asep, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 200 juta
b. Badu, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 400 juta
c. Cita, saldo yang tidak dibayar sebesar Rp 800 juta
Penyelesaian atas saldo rekening yang tidak dibayar tersebut, dilakukan dengan mekanisme likuidasi akan diselesaikan melalui proses likuidasi Bank ABC.






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
LPS merupakan penyempurnaan dari program penjaminan pemerintah terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 s/d 2005). Kebijakan blanket guarantee di satu sisi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, namun di sisi lain kebijakan tersebut telah membebani keuangan negara dan dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku perbankan dan nasabah.
Dengan mempertimbangkan dampak negatif tersebut serta memperhatikan membaiknya kondisi perbankan, kebijakan blanket guarantee telah diputuskan untuk diakhiri (pada tahun 2005). Penerapan penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum, sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. Yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 ditetapkan penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan resiko yang membebani anggaran negara. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mengingat fungsinya yang sangat penting, LPS harus independen, transparan dan akuntabel dalm menjalankan tugas dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi lain, seluruhnya diatur secara jelas dalam undang-undang.






B.     Saran
Apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tersebut tidak dapat dijalankan, akibatnya izin usahanya dicabut. Maka hal ini dinamakan Bank Gagal. Oleh karena itu, baik pemilik, pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan/ atau pengawasan bank, seharusnya selalu bekerja sama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.
Dan tatanan kelembagaan yang memperlancar koordinasi perlu diatur sedemikian rupa sehingga pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan atau langkah-lankah penyelesaian krisis dapat berjalan lancar. Oleh karena itu. kalau dilihat dalam bab pembahasan mungkin sedikit saran yang bisa dimasukkan bahwa suatu kelembagaan dikatakan kuat apabila memiliki atau didukung adanya dasar hukum pendirian, dasar hukum kewenangan, adanya hierarki dan mekanisme kerja serta peraturan pendukung, yang memudahkan institusi terkait untuk melakukan eksekusi kebijakan sesuai kewenangan yang dimiliki.















DAFTAR PUSTAKA
                                               
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Penjamin_Simpanan/13-03-2014
Indonesia (2005). Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan 2004. Jakarta: Sinar Grafika.
Indonesia (1999). Undang-Undang Perbankan UU No. 10 Tahun 1998. Jakarta: Sinar Grafika.



[1] http://www.lps.go.id/in/web/guest/sejarah
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Penjamin_Simpanan
[3] http://www.lps.go.id/in/web/guest/bentuk-status.
[4] Indonesia. UU Lembaga Penjamin Simpanan 2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2005, p. 5.
[5] Indonesia. UU Lembaga Penjamin Simpanan 2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2005, p. 5-6.
[6] Indonesia. UU Lembaga Penjamin Simpanan 2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2005, p. 7-8.
[7] Ibid, 42.
[8]http://www.kompasiana.com/channel/ekonomi