Senin, 28 Maret 2016

Makalah Rasionalitas Ekonomi

 RASIONALITAS EKONOMI

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: EKONOMI MIKRO ISLAM
Dosen Pengampu: Bu Ida Roza
   




 Disusun oleh :
1.      Arif Mulyadi                  (1505015085)
2.      Moh. Rosikhul Alan       (1505015083)
3.      Arya Rahmat                  (1505015117)
4.      Irma Fitriani                   (132503137)


D3 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ekonomi memang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. kebutuhan dan keinginan manusia menjadi hal yang penting untuk dipenuhi. namun alat ataupun sumberdaya untuk memenuhi dua hal tersebut sangatlah terbatas. untuk itu agar dapat memenuhinya, manusia haruslah pintar-pintar menggunakan rasionya. Karena konsistensi seseorang dinilai  dalam menentukan atau memutuskan pilihannya bila dihadapkan pada beberapa alternatif atau pilihan-pilihan. cara mengambil pilihan itu pun hendaknya dilakukan secara rasionalitas ekonomi.
Rasionalitas kerap dijadikan asumsi perilaku individu dalam model dan analisis ekonomi mikro dan muncul di hampir semua penjelasan pembuatan keputusan manusia yang ada di buku pelajaran ekonomi. Bahkan rasionalitas juga penting bagi ilmu politik modern,sosiologi,dan filsafat.
Memahami keadaan di atas, maka kami sebagai mahasiswa UIN Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam tertarik untuk mengkaji lebih mendalam  materi tentang rasionalitas ekonomi yang tak lupa kami masukkan bagaimana pandangan dalam Islam. Mari kita merujuk pada rumusan masalah di bawah ini dan pada pembahasan materi di bab berikutnya.
B.     Rumusan Masalah
      1.      Apa yang dimaksud dengan rasionalitas?
2.      Apa saja tipe rasionalitas?
3.      Apa saja prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi?
4.      Bagaimana rasionalitas dalam perspektif Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Rasionalitas
Rasional  adalah lawan dari irasional, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III, rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan yang logis atau pikiran yang sehat atau cocok dengan akal.[1] Rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar kepentingan  pribadi untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir tidak mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.[2] Sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa itu rasionalitas, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksudkan oleh para ekonom ketika mereka mengatakan bahwa suatu keputusan yang diambil seseorang pelaku ekonomi ialah rasional secara ekonomi.[3]
1.      Asumsi Rasionalitas Ekonomi
Rasionalitas telah menjadi asumsi sentral dalam ekonomi konvensional, namun terkadang menimbulkan implikasi yang kurang sesuai dengan tuntutan  moral.
Merujuk pada pendekatan filsafat Darwinisme di dalam ilmu ekonomi bahwa rasionalitas diartikan sebagai usaha untuk melayani kepentingan individu. Kepentingan pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan disini. Namun, menurut Adam Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi.
Dalam literatur teori ekonomi modern yang tersedia, seorang pelaku ekonomi diasumsikan rasional berdasarkan hal-hal berikut:[4]
a.       Setiap orang tahu apa yang mereka mau dan inginkan, serta mampu mengambil suatu keputusan atas suatu hal, dari sesuatu yang paling diinginkan (most preferred) sampai dengan yang paling kurang diinginkan atau (less preferred). Serta setiap idividu akan mampu bertindak dan mengambil keputusan secara konsisten.
b.      Keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan tradisi, nilai-nilai dan mempunyai alasan dan argumentasi yang jelas dan lugas. Hal ini menunjukkan bahwa metodelogi rasionalitas ialah ketika hal ini diambil berdasarkan cara berpikir dari setiap pelaku ekonomi itu sendiri.
c.       Setiap keputusan yang diambil oleh individu ini harus mengaju pada pengkuantifikasian keputusan akhir dalam suatu unit moneter. Pengkuantifikasian ini akan membawa pada perhitungan dan bertendensi untuk memaksimalkan tujuan dari setiap aktivitas, di mana suatu hal yang lebih baik lebih disukai dari pada yang kurang baik.
Dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan bahwa manusia disebut rasional jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan yang dapat dikuantifikasikan (dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum.[5] Sementara dalam ekonomi Islam pelaku ekonomi, baik itu produsen maupun konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan maslahah.
2.      Fenomena Sejarah
Suatu fakta sejarah mengungkapkan bahwa rasionalitas ialah suatu konsekuensi atas factor ekonomi dan agama, dimana faktor utama ini kapitalis. Dalam masa periode awal merkantilisme, para pedagang mencari keuntungan tinggi karena dua faktor:
a.       Kebijakan yang memberikan keuntungan berlebih kepada kaum perdagangan dengan memberikan perlakuan khusus yang bersifat monopolistik
b.      Faktor agama yang berasal dari ajaran katolik yang mengutuk kekayaan, dimana kesejahteraan ekonomi dan kekayaan akan berlawanan dengan pengajaran oleh gereja.
Pada akhir abad ke-17, pasar kapitalis yang berkembang secara maju dan signifikan atas produksi dan perdagangan. Kemudian berdasarkan konteks ini, teori baru tentang perilaku manusia telah lahir. Dalam hal ini, sifat menang sendiri dan egois menjadi hal yang utama, jika tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya yang menjadi acuan manusia dalam beraktifitas. Pergerakan melawan doktrin dan kekuasaan gereja yang terlalu dictator melahirkan suatu etika protestan. Etika protestan kemudian diformulasikan untuk mendukung dan menjadi alasan dalam motif kepentingan pribadi (self-interest) dalam ekonomi kapitalis sebagai hasil atas perubahan ini, doktrin individualis dan egois ini mendominasi dalam pemikiran ekonomi. Sehingga bahwa rasionalitas yang bersifat egois merupakan bentuk perlawanan atas peraturan Negara dan  antigereja.
B.     Tipe-tipe Rasionalitas
Ada dua tipe rasionalitas, yang mana dua tipe ini berlaku pada tingkat individu. Adapun pada tingkat kolektif terdapat rasionalitas pula. Dua tipe rasionalitas ini yaitu:[6]
1.      Rasionalitas kepentingan pribadi (Self-interest rationality)
Menurut Edgeworth, prinsip pertama dalam ilmu ekonomi ialah setiap pelaku ekonomi hanya digerakkan oleh kepentingan pribadi (self-interest) seorang individu. Namun satu hal yang ingin dicapai oleh teori kepuasan modern saat ini ialah upaya pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama yang sangat meragukan dan tidak jelas ini. Pengertian kepentingan pribadi di sini tidak harus selalu diartikan dengan penumpukan kekayaan dan harta oleh seseorang. Dimana kepentingan pribadi yang diasumsikan di sini ialah setiap individu akan selalu berupaya mengejar berbagai tujuan dalam hidup ini, dan tidak hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Namun tujuan-tujuan tersebut bisa berbentuk prestise, cinta, aktualisasi diri dan lain-lain.  Serta dapat pula berupa sebuah pencapain individu menjadi lebih baik dan membuat lingkungan sekelilingnya menjadi lebih baik juga pada saat yang bersamaan.
2.      Rasionalitas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai saat ini (present aim rationality)
Teori kepuasaan modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia selalu bersikap mementingkan dirinya sendiri. Teori ini berasumsi bahwa manusia selalu menyesuaikan prefrensinya sepanjang waktu dengan sejumlah prinsip. Secara jelasnya dikatakan bahwa preferensi yang diambil haruslah konsisten. Penyesuaian terhadap prinsip ini tanpa harus menjadi hanya mementingkan dirinya sendiri (self-interest). Sehingga setiap waktu mungkin preferensi individu tersebut dapat berubah sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya.
Sebagai contoh : seorang eksekutif muda dimana pada suatu waktu mugkin membutuhkan notebook untuk mempermudah tugasnya, namun pada waktu yang berbeda mungkin individu tersebut membutuhkan smartphone dalam mempermudah aktivitas komunikasinya.
C.    Prinsip-Prinsip Rasionalitas Ekonomi[7]
1.      Kelengkapan (Completeness)
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan. Bila A dan B merupakan dua keadaan yang berbeda, maka individu selalu dapat menemukan secara tepat satu diantara kemungkinan berikut :
-          A lebih disukai daripada B
-          B lebih disukai daripada A
-          A dan B sama-sama disukai
-          A dan B sama-sama tidak disukai
2.      Transitivitas (Transitivity)
Prinsip ini menerangkan mengenai konsistensi seseorang dalam menentukan dan memutuskan pilihannya bila dihadapkan oleh beberapa alternatif pilihan produk. Dimana jika seseorang individu mengatakan bahwa “produk A lebih disukai daripada produk B”, dan “produk B lebih disukai daripada produk  C”, maka ia pasti akan mengatakan bahwa “produk A lebih disukai produk C”. prinsip ini sebenarnya untuk memastikan adanya konsistensi internal di dalam diri individu dalam hal pengambilan keputusan.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap alternatif pilihan seorang individu akan selalu konsisten dalam memutuskan preferensinya atas suatu pruduk dibandingkan dengan produk lain.
3.      Kesinambungan (Continuity)
Prinsip ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “produk A lebih disukai daripada produk B”, maka setiap keadaan yang mendekati produk A pasti juga akan lebih disukai lebih dari pada produk B. Sebagai contoh dimana seorang individu lebih menyukai mobil dengan merek Honda daripada merek Suzuki, maka setiap tipe model dari mobil merek Honda apapun akan jauh lebih disukai dari pda tipe model apapun dari model merek Suzuki.
4.      Lebih banyak selalu lebih baik (The more is always the better)
Prinsip ini menjelaskan bahwa jumlah kepuasan akan meningkat, jika individu mengonsumsi lebih banyak barang atau produk tersebut. Hal ini bisa di jelaskan dengan kurva kepuasan konsumen -- dalam ilmu ekonomi hal ini dikenal dengan kurva indiferen (indeference curve) -- yang semakin meningkat akan memberikan kepuasan yang lebih baik. Sehingga konsumen cenderung akan selalu menambah konsumsinya demi kepuasan yang akan didapat. Meskipun dalam peningkatan kurva ideferent ini akan dibatasi oleh keterbatasan anggaran (budget constraint).
Adapun bagi konsumen muslim hal di atas masih harus dimodifikasi lagi, sebab tidak cukup bila hanya mengandalkan pada prinsip rasionalitas yang diajukan oleh ekonomi konvensional, yaitu :[8]
1.      Objek yang halal dan thayib (Halal and thayib things)
Dalam Islam, individu dibatasi oleh aturan-aturan syariat, dimana ada beberapa barang yang tidak boleh dikonsumsi karena ada suatu alasan tertentu, barang ini hukumya haram. Sehingga konsumen muslim hanya boleh mengonsumsi barang atau objek yang halal, baik produknya maupun prosesnya. Oleh karenanya, hanya produk-produk yang halal dan thayib (yang mendatangkan kebaikan) yang bisa dikonsumsi oleh seorang konsumen muslim dalam aktivitasnya sehari-hari.
2.      Lebih banyak tidak selalu lebih baik (The more isn’t always better)
Prinsip ini mengkritik prinsip keempat, dimana sesuatu yang lebih banyak tidak selamanya selalu lebih baik. Hal ini terjadi pada barang-barang yang dapat menimbulkan kemafsadatan dan kemudaratan bagi individu yang mengonsumsinya. Bila produk-produk ini dikonsumsi  semakin banyak justru akan menyebabkan individu dan masyarakat menjadi lebih buruk kondisinya. Misalkan, konsumsi atas alkohol baik sedikit atau banyak tidak akan mampu memberikan  kepuasan (utility) yang lebih baik, bahkan akan menimbulkan disutility. Atau misalkan seorang konsumen yang mengonsumsi daging kambing yang notabenenya halal apabila dikonsumsi secara berlebihan akan mendatangkan kemudaratan bagi yang mengonsumsinya, karena dapat menimbulkan penyakit kolestrol dan asam urat.     
D.    Perspektif Islam Tentang Rasionalitas
Ekonomi Islam menurut Chapra adalah branch of knowledge yang membantu manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi dari kelangkaan sumber daya yang mengikuti maqashid syariah. Ekonomi Islam sejatinya dapat menjadi kekuatan baru dalam mewarnai kehidupan manusia. Kombinasi dimensi spiritual yang meneduhkan serta rasionalitas yang meyakinkan sangat berpotensi untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia. Dengan itu, kesejahteraan dan kebahagian manusia tidak semata berlaku secara individual tetapi juga yang bersifat sosial.[9]
1.      Dasar hukum rasionalitas dalam Islam
Rasionalitas dalam perilaku pembelian konsumen muslim harus berdasarkan aturan Islam[10], sebagaimana dalam Al-Qur’an[11] sebagai berikut:
a.       Konsumen muslim dinyatakan rasional jika pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kebutuan dan kemampuan. Sesuai dengan QS. Al-Israa: 29

وَلَاتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلٰى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُو مًامَّحْسُوْرًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[12] karena itu kami menjadi tercela dan menyesal.”
b.      Seorang konsumen muslim dapat dibilang rasional jika ia membelanjakan tidak hanya untuk barang-barang yang bersifat duniawi semata, melainkan turut pula untuk keperluan dijalan Allah SWT (fi sabilillah) sesuai dalam QS. al-Israa: 26

وَءَاتِ ذَا الْقُرْ بٰى حَقَّةُ, وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّ رْ تَبْذِ يْرًا
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan (hartamu) secara boros.”
c.       Seorang konsumen muslim yang rasional akan mempunyai tingkat konsumsi yang lebih kecil dari konsumen non-muslim dikarenakan konsumsi hanya diperbolehkan untuk barang-barang yang halal. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا اُهِلَّبِهٖ لِغَيْرِاللهِۚ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَبَاغٍ وَّلاَ عَادٍ فَلَٓا اِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ آ للهَ غَفُوْرُرَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika di sembelih) disebut (nama) selain Allah[13]. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
2.      Konsep rasionalitas dalam Islam
Konsep rasionalitas dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang pendapatnya perlu dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam agar dapat diaplikasikan oleh konsumen muslim, yaitu:[14]
a.       Perluasan konsep rasionalitas
Pertama pendapat tentang self-interest rationality yang diperkenalkan oleh Edgeword ialah konsep yang lebih baik dalam artian kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Kedua pendapat bahwa teori modern tentang keputusan rasional tidak disepakati secara menyeluruh. Dalam nilai Islam terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapat yaitu zakat dan infak.
b.      Persyaratan transitivitas
Andaikan seorang dihadapkan pada pilihan antara A dan B, ia akan memilih A. Bila dihadapkan pada pilihan B dan C, ia memilih B. Dihadapkan pada pilihan antara C dan A. Pilihan ini kelihatannya intransitive karena kita melihat bahwa ia hanya memiliki tiga alternatif. Dapat dirinci sebagai berikut:

Maka, orang ini memilih Ab daripada Ba, Bc daripada Cb, dan Ca daripada Ac. Dalam hal ini tidak terdapat intransitivitas. Perhatikan bahwa Ca bukan Cb. Sekilas awal kelihatannya pilihan tersebut intransitif, karena kita melihat tiga pilihan, yakni: A, B, dan C. Akan tetapi, untuk orang ini akan melihat empat pilihan, yaitu: Ab, Bc, Cb, dan Ca.
c.       Utilitas dan infak
Mari kita lanjut pada utilitas Farid yang merasa lebih baik jika ia membelanjakan uangnya untuk infak. Fungsi utilitasnya dapat didefinisikan Uf = f (Mf,Mz), dimana:
Uf : utilitas Farid
Mf : uang yang dimiliki Farid
Mz : uang yang dimiliki Zahir

Gambar: Hubungan Utilitas dan Infak
d.      Melonggarkan persyaratan kontinuitas
Mari kita diasumsikan bahwa permintaan Y haram dalam keadaan darurat. Anda dapat membayangkan permintaan terhadap daging babi jika tidak ada makanan halal yang tersedia, permintaan pada babi ini bukan merupakan permintaan kontinu melainkan diskrit. Karena itu permintaannya ialah permintaan titik (point demand). Beberapa harga daging babi pada saat itu, permintaanya Qp, yakni permintaan sejumlah tertentu daging babi untuk memenuhi kelangsungan hidup dan setelah masa darurat lewat daging babi tidak akan dikonsumsi lagi.
e.       Perluasan horizon waktu
Perspektif Islam tentang waktu tidak dibatasi hanya pada masa kini. Islam memandang waktu sebagai horizon karena itu analisis statis bagaimana dikenal oleh ekonom klasik tidak memadai untuk menerangkan perilaku ekonomi dalam perspektif Islam waktu sangat penting dan sangat bernilai nilai waktu tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya, semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya semakin banyak nilai yang diperolehnya. Sehari merupakan 24 jam tapi nilai waktunya akan berbeda-beda.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam mengalokasikan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, dimana berhadapan dengan sumber daya yang terbatas, setiap individu menggunakan prinsip rasionalitas dalam mencapai kepuasan yang maksimum. Rasionalitas merupakan pengembangan dari asumsi bahwa manusia ialah homo economicus. Hal ini berarti bahwa setiap individu paling mengetahui kepuasan yang maksimum bagi dirinya.
Dua tipe rasionalitas, yang mana dua tipe ini berlaku pada tingkat individu yaitu: (1) Rasionalitas kepentingan pribadi (self-Interest rationality); (2) Rasionalitas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai saat ini (Present Aim Rationality). Rasionalitas juga mempunyai empat prinsip , yaitu: Completeness, Transitivity, Continuity, dan The more is the better. Dimana prinsip ini dalam ekonomi Islam ditambahkan Halal and thayib things dan The more isn’t always better.
Perspekif Islam tentang Rasionalitas Ekonomi dicerminkan dalam perilaku pembelian konsumen muslim harus berdasarkan aturan Islam. Bahkan konsep rasionalitas dalam buku ekonomi konvensional, berbagai persyaratan yang pendapatnya perlu dilakukan perubahan dalam ekonomi Islam agar dapat diaplikasikan oleh konsumen muslim.
B.     Saran
Keunikan ekonomi Islam terletak pada orientasinya pada pemenuhan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, keseimbangan antara aktivitas ibadah dengan pemenuhan hidup hendaknya harus seimbang.


DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Adiwarman A. Karim. (2002). Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIT-Indonesia.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III.
M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia. (2010). Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Jakarta: Kencana.
Robert Frank. (2001). Microeconomics and Behaviour 2nd ed, dalam Adiwarman A. Karim. Teori Mikroekonomi Islami. Jakarta: IIT-Indonesia.
Syed Omar Syed Agil. (1992). Rationality in Economic Theory, dalam Sayyid Tahir et. al..ed. Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective Selangor: Longman Malaysia.
Internet:
https://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/agama-dan-rasionalitas-ekonomi/ diakses pada 21 Maret 2016.





[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III.
[2] https://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/agama-dan-rasionalitas-ekonomi/ diakses pada 21 Maret 2016.
[3] M. Nur Rianto Al Arif dan Dr. Euis Amalia, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 66.
[4] Syed Omar Syed Agil, “Rationality in Economic Theory, A Critical Appraisal”, dalam Reading Micro Economics, An Islamic Perspective, Sayyid Taher, dkk (editor), Malaysia: Longman, 1992, hal. 32.
[5] Ibid, 50.
[6] Robert Frank, Microeconomics and Behaviour 2nd ed, dalam Adiwarman A. Karim. Teori Mikroekonomi Islami. Jakarta: IIT-Indonesia, 2001, hlm. 29.
[7]M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia, op.cit. hlm. 70.
[8] Ibid. hlm. 72.
[9] Umer Chapra lihat dalam Adiwarman A. Karim, Ilmu Ekonomi Islam; Bagaimana seharusnya?, Ulasan atas buku, The Future of Economic; An Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta, SEBI, 2001, hlm. 397.
[10] Syed Omar Syed Agil, Rationality in Economic Theory, dalam Sayid Tahir et. al..ed. Reading in Microeconomics: an Islamic Perspective (Selangor: Longman Malaysia, 1992), hlm. 44.
[11] Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Tangerang: Kalim, 2011)
[12] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu pemurah.
[13] Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[14] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIT-Indonesia,2002), hlm. 31.

2 komentar: